Profil Biografi Liem Sioe Liong - Otobiografi

Bookmark and Share

liem sioe liong
Liem Sioe Liong dan Suharto, dua nama yang tak bisa dipisahkan dalam sejarah Orde Baru (Sumber Photo Kompas/JB Suratno)

Pada minggu 10 Juni 2012 jam 15.50 sore, Liem Sioe Liong wafat di Singapura setelah mengalami sakit yang berkepanjangan. Liem wafat tak lama setelah tanggal ulang tahun orang yang paling penting dalam hidupnya –Suharto, pada tanggal 8 Juni. Ini merupakan rangkaian kebetulan sama dengan hidup Liem yang juga merupakan rangkaian pertemuan-pertemuan yang kemudian membesarkan namanya juga menyurutkan namanya.

Sebenarnya masa lalu Liem Sioe Liong agak sulit didapat, tidak banyak biografi yang mengulas Liem Sioe Liong secara mendetil, nama Liem hanya disebut-sebut ringkas dan sekilas di banyak buku biografi orang penting Indonesia yang berpengaruh di masa Orde Baru.
Liem Sioe Liong (1915-2012) -Sumber Photo : Viva News.

Barulah pada tahun 1983 ada secuil informasi yang ilmiah tentang Liem Sioe Liong yang dirilis oleh Far Eastern Economic Review yang merilis khusus bisnis Liem Sioe Liong dan sedikit kehidupan pribadinya pada bulan April 1983, tapi pada tahun 2005 saat ulang tahun Liem ke 90, dibuat film dokumenter berdasarkan kisah Liem dengan sangat bagus, film ini diputar di depan tamu undangan yang menghadiri perayaan Ulang Tahun Liem saat itu di Hotel Shangri-la Singapura.

Liem adalah Orde Baru itu sendiri, ia merupakan mata uang tak terpisahkan -. Bangkit dan Kehancuran Orde Baru adalah cerita kebangkitan dan kemunduran Liem Sioe Liong. Sulit bercerita tentang Orde Baru tanpa menyebutkan nama Suharto dan Liem Sioe Liong. Ekonomi Orde Baru dibangun berdasarkan Kapitalisme-Kroni yang juga melandasi ‘Kapitalisme semu’ (ersatz capitalism) dari bangunan konglomerasi inilah kemudian aliran dana berkembang biak bahkan kanal-kanal dana yang dibangun di masa Orde Baru, membuncah dan tumbuh pada perusahaan-perusahaan baru sekarang ini, perusahaan yang membesar setelah hantaman krisis 1998.

Liem Sioe Liong lahir di Fuqing, Tiongkok 10 September 1915, masa kecil dan muda Liem tidak begitu diketahui, apakah ia berdagang sebelumnya di Tiongkok sana, ataukah ia sekolah. Tapi cerita tentang Liem menjadi berarti ketika Jepang memasuki daratan Tiongkok dan menghancurkan kota-kota serta menjarah seluruh isi kota dengan pemerkosaan dan penindasan, saat itu Jepang yang bersekutu dengan Jerman melakukan pakta perjanjian bahwa Jerman akan menguasai seluruh wilayah Eropa dan Asia Barat sementara Jepang seluruh Asia Timur –mereka berdua akan bertemu di India sebagai daerah penyangga-. Rencana itulah yang membuat Jepang masuk ke Tiongkok sebagai taruhan pertama dalam menguasai Asia Timur. Saat Jepang masuk yang pertama kali diburu Jepang adalah para pemudanya, mereka dipaksa masuk ke dalam barisan militer Jepang atau kalau menolak dibunuh. Yang berani melawan masuk ke dalam Partai Komunis pimpinan Mao dan masuk ke hutan-hutan melakukan perang gerilya, sementara yang menolak perang lari ke pelabuhan dan melaut ke Nanyang (wilayah laut Selatan) –dimana Indonesia sebagai salah satu tujuannya-. Disinilah kemudian Liem Sioe Liong memilih, ia lari ke Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda. Disana ia memiliki seorang paman yang memiliki usaha Pengolahan minyak kacang, kebetulan kakak Liem Sioe Liong, yang bernama Liem Sioe Hie sudah berada di Jawa sebelumnya. Ia menyusul kakaknya.

Berhari-hari Liem menumpang kapal layar yang amat beresiko terhantam gelombang besar di tengah lautan ganas, banyak cerita yang didengar Liem tentang orang-orang Cina yang kemudian diceburkan ke laut oleh makelar tenaga kerja, ini juga yang membikin dia takut dan ada juga kapal pecah dihantam gelombang. Namun nasib baik masih memihak Liem Sioe Liong, kapal yang ia tumpangi berlabuh mulus di Pelabuhan Surabaya. Saat akan menuruni kapal beberapa petugas Imigrasi Hindia Belanda memeriksa orang-orang dari Cina yang baru datang, mereka bertanya keras-keras dan menanyakan siapa yang menjamin. Liem tak melihat sama sekali kakak-nya, selama empat hari ia tertahan di Pelabuhan Surabaya. Namun kemudian kakaknya A Hie menerima telegram bahwa adiknya A liong tertahan di Pelabuhan Surabaya, dengan cepat A Hie ke pelabuhan Surabaya dan mencari adiknya, setelah bertemu mereka berdua menangis berpelukan, mereka berdua pun mencari warung di dekat pelabuhan dan saling bertukar cerita. A Hie menceritakan salah seorang paman mereka yang sukses membuat pabrik minyak kacang dan mengajak A Liong ke Kudus.

Di Kudus A Liong bekerja di pabrik kecil milik pamannya mengelola minyak kacang, lalu kemudian ia berpindah dan bekerja sebagai pengelola tahu dan kerupuk, usahanya berkembang baik, ia belajar bagaimana berdagang sekaligus memproduksi sesuatu. –Suatu hari A Liong terpesona oleh kecantikan anak tetangga pamannya Lie Las Nio yang kerap disapa Lilani, A Liong melihat wajah cantik lilani adalah masa depannya, kemudian bermalam-malam ia tak bisa tidur dan kemudian di satu pagi ia membulatkan tekad melamar nikah Lilani.

Saat itu dijaman Hindia Belanda ada perbedaan pandangan antara Cina Totok dan Cina Peranakan, Cina Totok adalah orang yang langsung datang dari Cina Daratan sementara Cina Peranakan adalah orang-orang Cina yang sudah lama tinggal di Nusantara mereka menikah dengan perempuan-perempuan pribumi dan melahirkan banyak anak yang disebut sebagai ‘Peranakan’. Kaum Cina Peranakan biasanya lebih terdidik bahkan amat memahami budaya setempat, di Jawa misalnya kaum Cina Peranakan kebanyakan hanya bisa bahasa Jawa tidak bisa lagi bahasa asli Cina. Mereka juga bangga apabila dipersamakan statusnya dengan orang Belanda, yang dinamakan statusnya dengan orang Belanda biasanya menempatkan nama barat di urutan pertaman namanya kemudian nama marga dan nama panggilan. Ada juga ketakutan bagi orang Cina Peranakan untuk menikahkan anaknya kepada orang Cina Totok karena sering dibawa pulang kembali ke Cina Daratan, hal inilah juga yang menjadi pertimbangan bagi orang tua Lilani untuk secara halus menolak permintaan Liem Sioe Liong melamar anaknya. Tapi Liem Sioe Liong berkeras hati memperistri Lilani, kekerasan hati Liem itu rupanya meluluhkan hati ayah kandung Lilani dan memperbolehkan anaknya menikah dengan Liem. Pesta berhari-hari dilakukan untuk merayakan pernikahan Liem dengan Lilani.

Setelah menikah usaha Liem menjadi amat maju, ia mulai coba bermain di perdagangan cengkeh dan tembakau, perdagangan inilah yang kemudian mempertemukan antara nasib dan hoki-nya.

Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia –sebelumnya petinggi Pemerintahan Hindia Belanda dengan pengecut lari ke Australia meninggalkan Indonesia tanpa sedikitpun pertanggungjawaban. Seluruh kegiatan masyarakat terhenti sejenak, di berbagai kota terdapat penjarahan-penjarahan karena kekosongan kekuasaan. Di kota-kota baik kota kecil dan besar terdapat penjarahan yang kemudian membuat kegiatan perekonomian menjadi bangkrut, di masa ini nasib menguji Liem. Ia bersama empat kawannya naik mobil ke satu daerah di dekat Semarang, mobil yang ditumpanginya masuk jurang seluruh penumpang tewas hanya dia yang selamat, selama dua hari dia tak sadarkan diri.

Selamatnya Liem dalam kecelakaan itu membuat Liem merasa ada tugas besar yang harus ia jalani dan tugas itu adalah keberhasilannya dalam berusaha, Liem merasa dirinya selalu dinaungi nasib baik.

Di masa pendudukan militer Jepang, pedagang Cina banyak mengalami kerugian, karena memang sejak awal mereka konflik dengan pedagang Jepang yang juga banyak membangun toko-toko di Jawa, kelak diketahui bahwa banyak pedagang Jepang adalah intel yang bertugas mencatat kehidupan sehari-hari serta menginventaris semua data persoalan pemerintahan Hindia Belanda. Persaingan antara pedagang Cina dan Jepang amat keras, pernah di satu waktu orang Cina membeli barang di Toko Jepang, rumah orang Cina itu sendiri kemudian dilempari kotoran oleh orang Cina yang lainnya, pada masa itu kebencian orang Cina kepada Jepang amat tinggi, apalagi saat Jepang menginvasi Shanghai sekitaran tahun 1937 yang membawa korban dan kesengsaraan luar biasa di daratan Cina.

Liem Sioe Liong mengalami kesulitan di jaman Jepang, transportasi tidak berjalan baik, ia juga tidak mendapatkan pesanan barang dagangan dari luar negeri pelabuhan Malaka sudah diblokir kapal-kapal perang Jepang setelah Jepang menghantam Singapura, otomatis selama masa pendudukan Jepang ia mengalami kebangkrutan, ia sendiri menunggu nasib baiknya dengan sabar sambil bertahan hidup.

Keberuntungan Liem bangkit lagi saat ia mendengar di radio, Bung Karno dan Bung Hatta di Djakarta membacakan kemerdekaan Indonesia. Saat itu Jepang sudah dibom atom oleh Amerika Serikat, kepergian Jepang tinggal tunggu waktu lagi. Saat itu banyak laskar-laskar tentara berdiri karena Sukarno belum berani mengumumkan pembentukan Tentara Resmi, Bung Karno takut adanya tudingan bahwa bila tentara dibentuk maka akan terjadi suatu bias informasi bahwa Sukarno menyiapkan tentara sisa-sisa pendukung Djepang, atas saran Sjahrir kehendak membentuk tentara resmi ditunda dulu seraya melihat perkembangan. –Barulah di bulan Oktober 1945, tentara resmi terbentuk dan diberi nama Tentara Nasional Indonesia.

Pada masa Revolusi Bersenjata 1945-1949, warga keturunan Cina banyak mengalami kesulitan bahkan tak jarang mereka menjadi korban pembantaian gara-gara prasangka rasial, tapi bagaimanapun dua pihak yang berseteru baik pihak Republik maupun lawannya pihak Belanda membutuhkan orang-orang keturunan Cina sebagai pembentukan lapisan ekonomi. Perkebunan-perkebunan tetap dipegang kendali orang Cina karena merekalah yang terdidik dalam berbisnis, di sisi lain para pejuang Republik juga amat bergantung pada arus komoditi yang dikelola orang Cina. Dalam buku ‘Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950’ karya Twang Peck Yang, digambarkan bahwa ada kepercayaan yang lebih kepada Cina Totok dari kaum Revolusioner Republik ketimbang Cina Peranakan, ini juga merupakan revolusi sosial di jaman Hindia Belanda, Cina Peranakan mendapatkan tempat yang lebih tinggi dalam konfigurasi bangunan masyarakat saat itu. Liem Sioe Liong yang juga Cina Totok jelas mendapatkan keuntungan dalam persepsi seperti ini.

Ia berusaha mengimpor obat-obatan, segala keperluan persenjataan dan bentuk perdagangan barter lainnya untuk diberikan kepada pejuang Republik. Dari sinilah ia mengenal banyak perwira tentara, bahkan di dalam salah satu memoar Letjen Kemal Idris, ‘Bertarung dalam Revolusi’ dengan bangga Kemal Idris bercerita tentang Liem Sioe Liong yang berkata “Saya mengenal dengan Pak Kemal lebih lama daripada Pak Harto’ perkenalan itu pada saat Mayor Kemal memimpin Pasukan Siliwangi yang mengejar pasukan FDR/PKI saat peristiwa Madiun 1948.

Di tahun 1950 Liem melakukan perdagangan yang kemudian memenuhi kebutuhan perbekalan Kodam Diponegoro, di tahun-tahun inilah kemudian Liem amat akrab dengan Suharto yang saat itu diangkat menjadi Panglima Diponegoro menggantikan posisi Ahmad Yani yang ditarik ke Djakarta untuk menjadi KSAD menggantikan posisi AH Nasution.

Apakah kasus hukuman Suharto oleh Yani dan Nasution soal penyelundupan gula dan segala soal yang berkaitan dengan barter illegal tahun 1956-1959 melibatkan Liem Sioe Liong dimana kasusnya menjadi soal serius bagi Nasution yang membentuk Inspektorat Internal Angkatan Darat , sampai sekarang pun belum ada jabaran yang ilmiah mengenai hal ini, hanya saja memang karir bisnis Liem di tahun 1950-an biasa-biasa saja tidak semelejit pengusaha yang lain seperti Dasa’at yang amat dekat dengan Bung Karno.

Seperti pengusaha umumnya, Liem lihai mendekati banyak orang yang memiliki akses kepada kekuasaan apalagi saat itu pengusaha keturunan Cina mendapat rintangan yang serius dalam berusaha di Indonesia. Saat itu sedang ramai jenis usaha jual-beli beslit, karena kebijakan Assa’at yang menghalangi pengusaha keturunan Cina menguasai sektor ekonomi, Assa’at mengeluarkan apa yang disebut ‘Program ekonomi Benteng’. Namun agenda ekonomi yang bernada rasial itu malah jadi permainan dagang jual beli beslit yang kerap disebut sebagai Ali-Baba. Pada tahun 1957 ia berhasil menguasai saham Bank Central Asia, dari BCA inilah kemudian ia membentuk kanal-kanal modal ke berbagai unit usaha antara lain ke PT Mega, dimana salah satu mertua Bung Karno, ayah kandung ibu Fatmawati yang bernama Hassan Din dilibatkan.

Nama PT Mega sendiri diambil dari nama Megawati, puteri sulung Bung Karno. Usaha-usaha yang ia lakukan selama masa pemerintahan Sukarno yang penuh dengan gairah revolusioner, persiapan perang melawan Belanda di Irian Barat dan gegap gempitanya Sukarno menantang Malaysia membuat iklim bisnis tidak stabil. Bintang terang Liem baru datang tahun 1966, kebetulan kenalan lamanya di TT IV Diponegoro, Mayjen Suharto berhasil memenangkan kekuasaan di Djakarta.

Dilipatnya kekuatan Sukarno oleh Suharto memberikan rejeki sendiri bagi Liem Sioe Liong, sementara pengusaha-pengusaha yang dekat dengan Bung Karno seperti Dasa’at dan Teuku Markam asetnya diambil oleh militer, praksis ada kekosongan pengusaha. Kekosongan inilah yang kemudian diambil oleh banyak pengusaha yang dekat dengan militer, untuk menggambarkan hal ini kutipan dari buku ‘Soemitro : Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib bisa menjadi gambaran.

Sekali waktu saya menjadi Wapangkopkamtib, saya datang kepada Pak Harto dan berkata padanya :

“Pak Harto, saya yakin sebelum Pak Harto jadi Presiden, selama di pasukan pernah dibantu orang dalam memecahkan persoalan kesejahteraan bawahan-bawahan Pak Harto. Dan diantara mereka yang membantu Pak Harto mestinya ada Cina-nya.” (saya tahu beliau ada hubungan dengan Liem dan sebagainya).

“Bolehkah saya mengetahui siapa-siapa Cina-Cina yang pernah membantu Pak Harto?” begitu saya bertanya pada beliau. Dan dijawab oleh beliau : “Pertama, Liem Botak, kedua Liem Jangkung, Jantje Liem. (Tapi ini ditambahi dan dikomentari). Ini bukan orang saya tapi titipan dari Almarhum Yani, lho. Jaantje, Yan dari Yani. Kemudian Ong, sudah meninggal” (bahkan saya diperintahkan negur dia). Berikutnya adalah yang memelihara kuda-nya, sampai sekarang dia dekat sekali dengan Pak Harto, orangnya tidak pernah nonjolkan diri. Namanya Oey Tek Kiong (Oom Tik). Terus saya tanya bagaimana Njoo Han Siang (yang dekat dengan Ali Moertopo)?” Langsung dijawab : “Saya tidak senang sama orang itu.” Mengapa beliau mengemukakan pendapat begitu mengenai Njoo Han Siang, saya tidak tahu. Dan saya tidak bertanya. Saya tidak tahu pula mengenai orang-orang ini semua. Tidak ada yang tahu.

Kemudian saya tanya pada Pak Harto, sekarang Pak Harto menjadi Presiden. Apa policy Pak Harto mengenai mereka. Bagaimana Pak Harto mengejewantahkan, merumuskan hutang budi Pak Harto, kepada mereka”. Saya keluar pula dengan pertanyaan : “Apakah mereka harus diberi fasilitas-fasilitas khusus?”

“Oh tidak perlu, tidak perlu. Asal tidak diganggu”.

“Apakah mereka boleh pakai nama Pak Harto terus?”

“Justru sekarang saya jadi Presiden nama baik saya harus dijaga”.

“Kalau melanggar peraturan Pak, apakah mereka boleh ditindak?”

“jangan kesusu (kesusu : terburu-buru, bhs Jawa), diperiksa dalam-dalam, diperingatkan dulu.” Begitu jawab Pak Harto.


(Dikutip dari Buku Biografi : Jenderal Soemitro, Ramadhan KH, Hal.221)

Kutipan diatas menunjukkan bagaimana Presiden dan Jenderal-Jenderal Militer baik pada masa Sukarno dan Suharto memiliki hubungan khusus dengan pengusaha, saat itu persoalan rasial memang amat pelik bahkan di masa Sukarno persoalan itu kerap membuat kerusuhan sosial, di masa Suharto kerusuhan bisa dikendalikan. Selain itu narasi yang disampaikan Jenderal Mitro dalam biografinya memperkuat analisa bahwa memang struktur kekuasaan di Indonesia tidak berubah sejak jaman Hindia Belanda, di masa Hindia Belanda ada ungkapan : Elke Regent Heeft zijn Chinees Tiap Bupati punya orang Cinanya. Ungkapan itu pernah ditulis oleh Rosihan Anwar dalam salah satu puisi kritik sosialnya yang berjudul : “Aku tidak malu jadi orang Indonesia”. Apa yang diceritakan Jenderal Soemitro dalam memoarnya itu juga menunjukkan bagaimana Presiden Suharto amat sayang dengan koleganya yang bernama Liem Sioe Liong yang memang kerap dipanggil oleh kawan dekatnya sebagai –Liem Botak.


Jatuhnya Sukarno, Naiknya Suharto di tahun 1967
 menandai kebangkitan bisnis Liem
(Sumber Photo : Nippon Shimbun)


Liem sendiri lewat PT Mega di tahun 1968 kemudian memenangkan tender monopoli impor cengkeh, kemenangan ini didapat dengan perusahaan lain yang bernama PT Mercu Buana Pimpinan Probosutedjo. Mereka mendapatkan hak kutip impor cengkeh 5% dari setiap transaksi, pada tahun 1981 total transaksi cengkeh saja sekitar 120 juta dollar. Cerita soal impor cengkeh ini juga banyak dikisahkan oleh Sumitro Djojohadikusumo dalam memoarnya, saat itu Sumitro memang menjadi Menteri Perdagangan pada awal masa Orde Baru.

Impor Gandum, adalah bonanzaterbesar dalam bisnis Liem Sioe Liong, sekaligus merupakan langkah visioner Liem dalam melihat soal pangan di Indonesia. Saat itu Indonesia amat bergantung pada beras, sedikit banyak ia melihat bahwa beras tidak dapat memenuhi banyak kebutuhan orang Indonesia, walaupun kemudian impor gandum dianggap sebagai bagian orang sebagai ‘rusaknya kedaulatan pangan’ di Indonesia, namun bagaimanapun secara bisnis Liem mampu menyetir cara makan orang Indonesia, Liem menciptakan produk Indomie, lewat perusahaan Indofood dan menjadikan Indomie sebagai produk yang bukan saja menguasai Indonesia tapi menguasai dunia.

Selain bikin Indomie, Liem juga membangun Pabrik tepung terbesar di dunia, Bogasari namanya. Pabrik Tepung ini di masa awal berdiri dibantu oleh perusahaan Singapura, ia membangun lini kemasannya berupa pabrik kantong, transportasinya khusus dengan dibentuk empat kapal kargo besar untuk mengangkut biji gandum dari Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Disini Liem membentuk benih penguasaan impor gandum bukan saja sebagai makelar, pedagang tapi juga sebagai industriawan.

Penguasaan hulu impor gandum tidak hanya dengan membangun pabriknya dan menguasai jalur perdagangan impor tapi juga membeli saham Bank yang mengelola alur keuangan impor gandum, Liem mengakuisisi Bank Hibernia di California. Langkah ini adalah membentuk kekuatan di hulu pada penguasaan impor gandum.

Pada tahun 1970-an, Pertamina bangkrut karena hutang-hutang di masa Ibnu Soetowo gagal bayar, entah ini merupakan permainan tingkat tinggi yang merekayasa agar Ibnu didepak dari Pertamina atau memang Ibnu salah langkah, namun hancurnya Pertamina sebagai perusahaan “konglomerasi negara” membuat posisi lowong bagi konglomerasi-konglomerasi lainnya, dititik inilah Liem masuk dengan membentuk Konglomerasi yang menguasai segala lini sektor bisnis. Saat itu Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur, dalam pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan utama-nya adalah Semen. Liem membangun pabrik Semen Cibinong, pabriknya hanya sekitar 40 Kilometer terletak di Selatan Jakarta. Lokasi yang amat bagus, dekat dengan ibukota yang sedang menggeliat membangun, dekat dengan pelabuhan, jelas merupakan keuntungan besar bagi Liem dalam membangun bisnis semen dan berkelahi dengan saingan-saingan pemain semen lainnya seperti : Semen Tonasa, Semen Padang, atau Semen Gresik. Tercatat pada tahun 1981, penjualan semen gresik mencapai angka 230 juta dollar atau menguasai 38% dari seluruh pangsa pasar semen di Indonesia.

Keberhasilan bisnis semen, penguasaan impor cengkeh dan impor gandum mampu mengakumulasi modal Liem sedemikian meraksasa dan menjadikan landasan modal baru untuk memulai bisnis yang lebih modern namun sedikit berspekulasi. Liem membangun Bank Central Asia sebagai bank terbesar se Indonesia, saat itu Indonesia memiliki 27 Provinsi dan keseluruhan provinsi di Indonesia memiliki cabang besar BCA. Di sayap keuangan lainnya Liem membangun perusahaan Asuransi, pembangunan bisnis Asuransi adalah setiran Liem untuk mengubah mentalitas orang Indonesia yang tak mengenal asuransi sebagai kebutuhan hidup seperti di negara-negara maju, Liem yakin penjualan kontrak asuransi jiwa akan sangat sukses, lambat laun orang Indonesia akan sadar pentingnya asuransi, -ia membangun Central Asia Raya. CAR. Ia juga membangun perusahaan leasing –Central Sari Metropolitan-. Liem juga melalui Indomobil bersaing dengan grup Astra dibawah komando Willliam Surjadjaja, bila Astra mendapatkan kontrak khusus dengan pabrikan mobil Toyota, maka Liem mendapatkan kontrak khusus dengan pabrikan kendaraan Jepang seperti : Suzuki, Hino dan Mazda.

Di pertengahan tahun 1970-an, Pak Harto sedang kesengsem dengan BJ Habibie, insinyur muda yang sempat menjadi boss di perusahaan penerbangan Jerman Barat. Di satu obrolannya dengan Liem, Pak Harto meminta Liem untuk membantu Habibie, Liem amat terkesan dengan visi Habibie dalam membangun sektor-sektor industri modern terutama sekali dibidang Aeronautika ia membiayai pengembangan PT Nurtanio, pabrikan pesawat bentukan BJ Habibie dengan produksinya waktu itu Helikopter Messerschmidt dan pesawat berpenumpang kecil yang dinamai Casa- sesuai nama rekanan pabrikan pesawat Spanyol yang membantu proyek Habibie.

Pada suatu hari Liem berpikir bahwa Krakatau Steel tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan Baja nasional, di masa depan kebutuhan baja akan meningkat seiring dengan pembangunan dunia, Liem kemudian menjajagi masuk ke dalam Krakatau Steel dengan menyarankan pendirian pabrik lembaran baja tipis dingin, pada awal 1980-an didirikan PT Cold Rolling Mill Indonesia (CRMI), pembangunan pabrik baja dingin memerlukan biaya banyak, Jepang yang ditawari Krakatau Steel tak mau masuk, akhirnya Krakatau Steel mendapatkan rekanan swasta dalam negeri termasuk Liem yang pegang saham lewat PT Kaolin Indah Utama dan Djuhar Soetanto (Liem Oen Kian) partner Liem yang masuk dalam salah the gang of four , Liem yang kemudian melakukan pemilikan saham atas CRMI dengan mengumpulkan kawan-kawannya yang kerap ia sebut sebagai ‘Liem Investors’ untuk melakukan pooling fund (pengumpulan dana modal) sebagai pimpinan Liem Investors ia kemudian melakukan tindakan kredit kepada sindikasi Perbankan yang terdiri 19 bank Internasional, termasuk BNI yang saat itu dibawah komando Somala Wiria meminjamkan dana 25,2 juta dollar, seluruh total pinjaman sindikasi perbankan senilai 552 juta dollar dalam kerangka pinjaman itu Liem sendiri menyertakan Krakatau Steel sebagai rekanan, saat itu perusahaan Krakakatau Steel dibawah pimpinan Tungki Ariwibowo (kelak jadi Menteri Perindustrian) ikut dalam perjanjian kredit itu, total biaya yang dibutuhkan untuk menunjang alur produksi Krakatau Steel sekitar 800 juta dollar, masuknya BNI dan KS sebagai entitas dalam kerangka pinjaman sindikasi perbankan ini merupakan jaminan pemerintah untuk membiayai proyek besar, ini juga langkah paling berani Liem dalam bisnis yang beresiko tinggi.

Liem tentunya juga amat perhitungan dalam bisnisnya, masuknya Liem dalam bisnis yang beresiko juga agar ia menyenangi para penguasa dalam hal ini koleganya di pemerintahan, saat itu Indonesia berada di puncak kemakmurannya, Suharto ingin mengadakan ‘lompatan raksasa modern Indonesia’ salah satunya adalah mengandalkan peran swasta. Di belakang bisnis beresiko tinggi, Liem tetap membangun barisan belakang berupa bisnis-bisnis tradisional yang tidak lekang oleh waktu seperti bisnis kayu lapis, tekstil serta developer perumahan dan perkantoran. Di pabrik kayu lapis Liem mendirikan PT Dono Indah, di bidang tekstil membangun pabrik PT Tarumatex dan PT Muliatex) dari tekstil ini seperti di tahun 1950-an, Liem memasok kebutuhan seragam militer. Di tahun 1970-an akhir Jakarta berkembang pesat, terutama hunian kelas menengah atas, munculnya kelas menengah baru membutuhkan lahan yang nyaman, Grup Bisnis Liem membiayai pengadaan tanah 500 hektar di kawasan yang sekarang disebut Pondok Indah, Jakarta Selatan. Liem juga membangun The Jakarta Mandarin, dan Perkantoran Wisma Metropolitan, hampir seluruh Sudirman Boulevard dikuasai bisnis Grup Liem.
Bisnis Liem di Masa Orde Baru amat
 bergantung dengan Suharto
 (Sumber Photo :adrianliem.multiply.com)

Menurut analisa banyak pengamat bisnis asing, bisnis raksasa Liem Sioe Liong ‘tak akan bertahan satu hari setelah Suharto jatuh’ karena memang Liem sendiri amat bergantung pada fasilitas-fasilitas yang diberikan penguasa Orde Baru ini, berdasarkan hitung-hitungan bisnis ini Liem tidak akan berlangsung lama setelah kejatuhan Suharto, analisa ini banyak muncul ketika kritik konglomerasi kroni meruap ketengah publik pada pertengahan tahun 1980-an. Liem menanggapinya dengan dingin, tapi ia juga sadar akan resiko itu. Liem membangun apa yang disebut jaringan bisnis luar negeri grup Liem–“The Liem’s Offshore Empire” Liem membangun banyak pabrik dan jaringan bisnis di Liberia, Antillen Islands, Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, Belanda dan banyak negara lainnya.

Pada bulan Mei 1998, benar juga banyak perkiraan bahwa Suharto jatuh oleh hantaman krisis ekonomi yang kerap disebut ‘krisis moneter’. Liem Sioe Liong jelas terkena akibatnya, ia sendiri merasa trauma dengan penyerbuan massa ke rumahnya, menghancurkan di dalamnya, menarik turun fotonya dan membakar fotonya di tengah jalan. Liem dianggap massa sebagai ‘bagian terlekat dari rezim Suharto’. Setelah huru-hara dan masuknya rezim reformis yang baru hasil kesepakatan kelompok oposisi dan loyalis Suharto yang kemudian balik badan menentang Suharto tercapai, Indonesia mulai stabil kembali tapi tidak bagi Liem banyak perusahaannya terjerat BLBI dan segala macam bentuk kesulitan lainnya beberapa perusahaan besarnya diambil alih konglomerat lain seperti Prajogo Pangestu. Liem akhirnya hijrah ke Singapura dan tidak kembali tinggal di Indonesia.

Massa menyerbu Rumah Liem dan menyeret
fotonya tahun 1998, titik balik terendah hidup Liem
 (Sumber Photo : Reformasi, 1998)

Pada minggu sore, 10 Juni Liem wafat di Singapura, sebuah angka yang bagus dan mencengangkan bagi banyak orang yang percaya angka sebagai hoki : Liem lahir di angka 10 dan wafat di angka 10, apakah ini bagian dari takdir rejeki Liem? Hanya Tuhan yang tahu, yang jelas terlepas dari kontroversi hidup Liem dalam membangun bisnis di Indonesia, pengaruh Liem terhadap sejarah Indonesia amat terasa terutama di masa Orde Baru, mau tak mau Liem disebut peletak dasar bisnis modern di Indonesia, mungkin itulah salah satu kenangan baik yang dinisbahkan pada Liem dan mengingatkan Sekolah Bisnis Prasetya Mulya, sekolah yang dibangun lewat jaringan konglomerat Indonesia dimana Liem salah satunya.

-Selamat Jalan Oom Liem………….

(Anton DH Nugrahanto).

Sumber Referensi :

-Nusa Jawa : Silang Budaya, Jilid II : Jaringan Asia -Subbab : Warisan Cina, Dennys Lombard, Gramedia Jakarta, 2000.
-Far Economic Eastern Review, edisi khusus 7 April 1983, Article A.Roley and Manggi Habir)
-Soemitro : Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, Ramadhan KH,Sinar Harapan, 1994.
-Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, Twang Peck Yang, Niagara, Yogyakarta, cetakan II 2005.
-Artikel Antara News Bulletin, 6 dan 7 Agustus 1959 (sorotan bisnis militer)
-Duta Masyarakat, 16 Oktober 1959, mengenai bisnis Panglima Suharto di Semarang.
-Artikel Majalah Tempo : 9 Juli 1983 Judul : Mengenai Liem dan Partner di Krakatau Steel.
-Artikel Majalah Tempo : 19 September 2005, judul artikel : ’Pesta Untuk Sang Kaisar’.

sumber : http://sosok.kompasiana.com/2012/06/11/in-memoriam-liem-sioe-liong/

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar